Rabu, 17 Maret 2010

Di Manakah Tali Cinta-mu Bergantung?

Oleh Ustadz Abu Umar Al Maidani hafizhahullahu ta’ala

Cinta itu anugerah. Tak seorangpun menampiknya. Karena anugerah, maka cinta kerap datang secara tiba-tiba, bahkan seringkali tanpa si pemilik cinta menghendaki kehadirannya. Yah, betapa banyak di antara kita yang ‘menyesal’ karena lebih menyukai gudeg ketimbang burger. Tapi kecintaan pada makanan itu datang begitu saja.

Persoalannya, meski cinta datang tak terduga-duga, ia selalu punya alasan kenapa hadir dalam kehidupan nyata. Cinta selalu datang dari pipa saluran yang berbeda-beda, meski sumbernya adalah sama. Berbeda pipa, karena berbeda alasan. Masing-masing alasan menentukan kwalitas cinta. Bingung? Mari deh, kita simak penuturannya berikut ini.

Cinta, Selalu Punya Alasan

Kita boleh saja menukas, bahwa cinta itu menyerbu hati kita, tanpa kita pernah memintanya. Selain blind (buta), cinta juga blue (tak terduga-duga). Tapi kenyataannya, cinta selalu punya alasan ketika ia hadir di hati kita.

Okey, sebagai contoh, kita kembali ke soal makanan. Masyarakat Indonesia, meski kaya dengan beragam makanan, tapi miskin keragamam makanan pokok. Selain beberapa wilayah di tanah air yang memilih sagu atau jagung sebagai makanan pokok, umumnya masyarakat Indonesia hanya mengenal satu jenis makanan pokok: nasi.

Orang Cina sangat akrab dengan tiga jenis makanan pokoknya: Mie, Bakpao dan nasi. Yang manapun yang mereka santap, mereka tetap merasa bisa kenyang dengan nyaman.

Masyarakat Arab akrab dengan roti gandum, nasi dan makaroni sebagai makanan pokok.

Masyarakat Barat dan Eropa nyaman menyantap roti dan nasi sebagai makanan pokok.

Sebagian masyarakat Amerika Latin setidaknya akrab dengan dua jenis makanan pokok: Talas dan kacang merah.

Lalu, bisakah sebagai orang Indonesia kita mengatakan, “Kami dilahirkan, sudah sebagai penikmat satu jenis makan pokok saja. Cinta kami, hanya untuk nasi sebagai makanan pokok. No way untuk roti apalagi kacang-kacangan?”

Sebagai de facto, mungkin bisa. Secara de jure itu tak masuk akal.

Cinta kita kepada nasi sebagai makanan pokok tunggal, bukanlah semata-mata suratan. Tapi karena kita juga sengaja berprilaku ngotot, untuk sekali nasi tetap nasi. Untuk tak mau membiasakan diri menyantap jenis lain dari makanan pokok pengganti. Padahal, suka ada karena biasa. Witing trisna jalaran saka kulina. Nasi punya alasan kenapa ia menjadi primadona di lidah kita: karena kita yang mengundangnya secara sendirian dalam kehidupan makan kita.

Jadi, salah satu alasan cinta itu hadir: karena kita mengundang dan membiasakannya.

“Orang yang cita-citanya tertuju pada dunia saja, urusannya akan Allah cerai beraikan, kemiskinan senantiasa terbayang di pelupuk matanya, sementara dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang telah Allah tetapkan baginya saja. Dan Siapa saja yang cita-citanya tertuju pada akhirat, pasti Allah beri keteguhan pada kesatuan jiwanya, kekayaan selalu melekat dalam hatinya, sementara dunia justru mendatanginya secara pasrah.[1]”

Alasan-alasan Cinta

Cinta tentu punya banyak alasan untuk hadir di hati kita. Bila kita mau merenunginya, sungguh banyak keajaiban di sana.

Sebagian orang beralasan, bahwa ia mencinta calon isterinya dahulu, karena keindahan matanya. Siapa yang menyuruh dirinya untuk begitu peduli mencermati calon mempelainya sebegitu rupa?

Tentu ada latar belakang, kenapa ia begitu memuliakan mata. Sehingga cinta itupun ia betot untuk hadir, hanya karena keindahan sepasang mata.

Yah, bisa jadi ia membiasakan dirinya untuk meneliti berbagai jenis mata manusia. Yang hitam pekat bulatan tengahnya, yang bercampur biru warnanya, yang sering dibilang sebagai mata kucing, yang sipit, yang belo, yang sayu……yang ini dan yang itu. Mata, ternyata begitu banyak jenisnya.

Soal binatang kesayangan dia juga kerap menilai dari keindahan matanya. Itu sah-sah saja. Tapi selera itu tak muncul tiba-tiba.

Eh, ada seorang teman saya, yang menikahi calon isterinya dahulu, setelah mendengarkan kemerduan suaranya melantunkan ayat-ayat Allah…..

Selidik punya selidik, ternyata ia memang gemar membaca Al-Quran, sangat memerhatikan tajwid, tahsin dan makraj huruuf dalam bacaan Al-Quran. Maka seorang wanita shalihah, semakin bertambah nilainya hingga berkali-kali lipat, bila ketahuan bersuara indah dalam melantunkan ayat-ayat Allah.

Ehm, ada juga seorang teman yang menikahi wanita, setelah tahu sang calon isteri memiliki kemampuan bela diri yang memikat. Ternyata, ia sangat mengagumi tokoh Ummu Khalat dalam sejarah para Sahabat Nabi n. Seorang wanita bercadar, yang pernah ikut dalam peperangan sedemikian gagahnya. Nabi dan para Sahabat mengira ia seorang ksatria muslim yang tidak dikenal. Ternyata, ia adalah ‘pendekar’ muslimah bernama Ummu Khalat!

Alasan, atau dalam bahasa fiqihnya ‘illat, menjadi pencetus munculnya kesimpulan hukum. Cinta itu adalah hukum. Dan setiap hukum muncul bersama ‘illatnya. Apakah illat cintamu?

Ini, yang harus kita renungi baik-baik.

Alasan cinta atau ‘illat cinta, muncul dari pipa yang berbeda-beda. Ada pipa keyakinan atau ideologi. Ada pipa pergaulan atau sosial. Ada pipa wawasan dan ilmu pengetahuan atau science dan tsaqaafah. Ada juga pipa budaya, suku, keluarga, hobi, dan seterusnya.

Dari pipa manapun alasan cinta itu bermula, carilah kemenangan dengan agama sebagai basis powernya. Itulah salah satu yang dapat kita mengerti dari sabda Nabi n,

Menanglah dengan memilih agamanya, maka “taribat yadaaka” (dirimu akan selamat dari cela).” [2]

Agama, dijadikan sebagai starting powernya. Dari wilayah itu sebagai basis kekuatan memilih, seseorang bisa meragamkannya sesuai dengan berbagai latar belakang yang dia miliki.

Ia bisa memilihnya melalui pipa hobi, kecendrungan, ilmu pengetahuan, atau apa saja. Selama itu tidak berlawanan dengan konsep agama, dan selama ia berjalan bersinergi dengan nilai-nilai agama dan keyakinan yang lurus, ia bisa menjadi alasan kehadiran cinta.

gantungan tali Cinta

ketika cinta itu datang dengan segala alasannya; dengan satu, dua, tiga atau sekian alasan berbeda-beda sekaligus, tentu ia hadir bukan menggantung di awang-awang.

Cinta mengalir dari endapan pandangan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung, dan campuran berbagai nuansa rasa yang menumpuk di hati, lalu membentuk cita rasa baru yang unik dan mengejutkan. Itulah cinta,

Saat ia muncul, ia bergantung pada sesuatu yang menjadi kekuatan wujudnya. Kalau cinta itu muncul akibat kesamaan visi dan misi kehidupan, maka cinta itu akan luntur saat visi dan misi dua orang yang saling mencintai itu kemudian bertabrakan atau bersimpangjalan.

Kalau cinta itu muncul karena dorongan ambisi-ambisi duniawi tertentu, maka berkurangnya kwalitas dan kwantitas dunia yang direngkuh, akan membuat cinta itu kian lama kian kehilangan maknanya.

Namun, bila cinta itu bergantung pada perjalanan mengejar cinta Yang Maha Kuasa, Allah, Ar-Rahmaan Ar-Rahiem, maka cinta itu akan abadi, selama iman masih di kandung badan.

Abu Hurairah t meriwayatkan dari Rasulullah r,

“Ada se-orang laki-laki mengunjungi saudaranya di suatu kampung lain. Allah kemudian mengutus satu malaikat untuk mengawasi Madrajatahu[3]. Ketika sampai kepadanya, malaikat berkata,

“Anda mau ke mana?”

“Saya ingin mengunjungi saudaraku.” Jawabnya.

“Apakah ada sebab mendorong Anda untuk menziarahinya?”[4] Tanya malaikat itu lagi.

“ Tidak ada, selain aku mencintainya karena Allah.” Jawab orang itu pula.

Malaikat itu berkata, “Sesungguhnya saya adalah utusan Allah untuk Anda. Bahwa Allah I telah mencintai Anda sebagaimana Anda mencintai dia karena-Nya.”[5]

“Pokok-pokok iman yang paling kuat adalah Anda mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”[6]

Maka, selidikilah terus menerus, di mana tali cinta kita bergantung. Betapa banyak orang yang kita cintai di dunia ini. Begitu berlimpah hal-hal dan sesuatu yang kita cinta di muka bumi ini. Di manakan tali cinta-cinta itu bergantung?

Apakah pada janji kehidupan dunia yang fana ini?

Apakah pada petuah dan nasihat manusia saja?

Apakah pada ambisi dan hasrat dunia semata?

Apakah pada fanatisme kekeluargaan, kesukuan dan kebangsaan saja?

Bila memang demikian, binasalah segala cinta yang ada. Karena segala sesuatu, selain Allah, pasti akan mengalami kebinasaan. Cepat atau lambat.

Di manakan tali cinta kita bergantung……………………………..????


--------------------------------------------------------------------------------
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949.

[2] Arti “Taribat Yadaak”, adalah bersentuhan dengan bumi. Itu merupakan bahasan kiasan yang artinya: membutuhkan. Ungkapan itu berwujud berita, tetapi artinya sebagai perintah. Lihat Fathul Bari IX : 38 – 39

[3] Jalannya

[4] “Tarubbuha” bermakna “berupaya memperbaikinya” dan “bangkit karenanya”

[5] HR. Muslim, No. 38, 4/1988

[6] HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, No. 11537; Ibnu Syaibah dalam Al-Iman, hlm. 110, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, No. 1728

Penulis: Abu Umar Basyir

0 komentar: