Kamis, 15 April 2010

Mungkinkah Kaum Muslimin Akan Berjaya? Pesan Baru

Oleh Syaikh Muhammad Shafwat Nuruddin

Di tengah berbagai konflik politik dan pertarungan antar manusia di berbagai belahan dunia, banyak kaum Muslimin yang lupa bahwa Allâh Ta’ala pernah memenangkan Nabi Nuh ‘Alaihissalâm ketika beliau memohon kepada Allâh Ta’ala :


“Sesungguhnya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku).”
(Qs al-Qamar/54:10)

Allâh Ta’ala pernah menolong Nabi Hud ‘Alaihissalâm dan Nabi Shâlih ‘Alaihissalâm meskipun manusia yang mendukung mereka sedikit, sedangkan musuh sangat banyak. Allâh Ta’ala juga pernah menolong Nabi Ibrâhîm ‘Alaihissalâm dan Nabi Luth ‘Alaihissalâm serta semua Nabi dan Rasul.

Allâh Ta’ala berfirman :

“Dan Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.”
(Qs an-Nûr/24:55)
Janji Allâh Ta’ala dalam ayat ini pernah dibuktikan kepada kaum Muslimin, para Sahabat Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam. Sebelum dimenangkan oleh Allâh Ta’ala, mereka tidak dipandang kecuali dengan pandangan penuh pelecehan dan hinaan. Namun tiba-tiba kaum yang dipandang sebelah mata ini bisa menguasai Persia, Roma, Yaman dan Afrika dan berkibar-kibar di Eropa.

Ketika mereka sudah memenuhi persyaratan-persyaratan menang yaitu beriman dan beramal shalih, maka Allâh Ta’ala memenuhi janji-Nya. Allâh Ta’ala menjadikan mereka sebagai penguasa di muka bumi serta Allâh Ta’ala memperlakukan sunnatulâh di tengah-tengah mereka.

Namun setelah generasi ini berlalu, setan berhasil menyeret generasi-generasi berikutnya ke dalam lembah kesesatan.

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
(Qs Maryam/19:59)
Generasi-generasi akhir ini tidak lagi memenuhi persyaratan untuk meraih kemenangan, sehingga Allâh Ta’ala tidak lagi memberikan kemenangan kepada umat ini. Sebaliknya, kaum Muslimin terhina di negeri sendiri, kehormatan mereka diinjak-injak oleh orang-orang kafir dan orang-orang menyimpang. Orang-orang kafir di antaranya telah menenggelamkan sebagian wilayah kaum Muslimin ke dalam ideologi komunis, sebagian lagi ke dalam cengkeraman para salibis. Terakhir, Baitul Maqdis jatuh ke dalam genggaman Zionis, pembunuh para Nabi dan kaum yang dikutuk dan dilaknat dalam al-Qur’ân.

Mungkinkah Kaum Muslimin Akan Memperoleh Kemenangan dan Kejayaan ?

Jawabannya ada pada janji Allâh Ta’ala dalam firman-Nya pada Al-Qur’an surat an-Nur ayat ke-55 di atas.

Dengan demikian, maka kita harus mengetahui syarat-syarat untuk memperoleh kemenangan dan kejayaan itu kembali. Syarat-syarat yang disebutkan dalam ayat di atas yaitu beriman dan beramal shalih. Iman dengan enam rukunnya yaitu beriman kepada Allâh Ta’ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir serta takdir baik dan buruk. Ini merupakan pondasi yang tidak boleh dilalaikan sama sekali, meskipun hanya sesaat.

Sedangkan melakukan amal shalih maksudnya melakukan segala yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang dengan dasar taat kepada Allâh Ta’ala serta beriman kepada Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam. Sehingga dalam pengertian secara global ini akan tercakup di dalamnya usaha untuk pelurusan akidah, penyesuaian segala ibadah dengan sunnah Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam.

Menegakkan had-had syar’i, menjaga lisan agar tidak mencederai kehormatan orang lain, menjaga mata agar tidak memandang sesuatu yang haram, menjaga pendengaran, adab meminta ijin dalam rumah, mengajari anak cara meminta ijin, menjaga anggota badan dan kemaluan dan lain sebagainya masuk dalam kategori amal shalih.

Begitu juga urusan rumah tangga seperti berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada pasangan dan anak, menjaga hak-hak tetangga, amar ma’ruf nahi mungkar, meninggal perbuatan riba, tidak menipu dan tidak bertindak zhalim. Semua jenis perbuatan ini masuk dalam lingkup amal shalih yang disebutkan oleh Allâh Ta’ala dalam al-Qur’ân.

Ayat ke-55 dari surat an-Nûr di atas, merupakan sebuah surat yang mengisyaratkan periode baru dalam sejarah perjalanan hidup Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam. Ayat ini turun setelah terjadi perang Mushthaliq yang didahului dengan perang Ahzâb yang menyebabkan diturunkannya surat al-Ahzâb. Jarak antara kedua peperangan ini begitu singkat.

Perang Ahzâb merupakan kali terakhir kaum musyrik menyerang kaum Muslimin, dan mereka bertempur di Madinah. Setelah itu Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam bersabda :

“Sekarang kita yang akan menyerang mereka, bukan mereka yang menyerang kita.”
(HR Imam al-Bukhâri)
Lalu Allâh Ta’ala menurunkan surat an-Nûr untuk menyucikan kaum Muslimin agar bisa melaksanakan kewajiban berdakwah dan berjihad serta menyiapkan mereka agar berbuat taat sehingga berhak mendapatkan pertolongan Allâh Ta’ala. Allâh Ta’ala menyucikan jiwa-jiwa mereka dengan perintah-perintah yang dijelaskan secara rinci oleh ayat-ayat dalam surat an-Nûr yang mulia ini dan dijelaskan secara global dalam firman-Nya pada Al-Qur’an surat an-Nur ayat ke-55 di atas.
Dengan memperhatikan surat an-Nûr dan al-Ahzâb, didapatkan banyak perintah dari Allâh Ta’ala. Di antaranya dalam surat an-Nûr terdapat aya-ayat berikut :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya bukan karena karunia Allâh dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak ada seorang pun dari kamu yang bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allâh membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allâh Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Qs an-Nûr/24:21)

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang tertuduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh yang menuduh itu. Mereka mendapatkan ampunan dan rezki yang mulia (surga).
(Qs an-Nûr/24:26)

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allâh, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
(Qs an-Nûr/24:37)
Sementara dalam Surat al-Ahzâb ayat ke-9 s/d ayat ke-14, Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allâh (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allâh Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allâh dengan berbagai macam prasangka. Di situlah orang-orang Mukmin diuji dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: “Allâh dan rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya”. Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: “Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada
tempat bagimu, maka kembalilah kamu”. Dan sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan mengatakan : “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)”. dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak lari. Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada akan bertangguh untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat.
(Qs al-Ahzâb/33:9-14)
Dan pada ayat ke-23 Allâh Ta’ala berfirman, yang artinya :

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allâh; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).”
(Qs al-Ahzâb/33:23)
Dalam dua surat ini (Qs an-Nûr/24 dan Qs al-Ahzâb/33) terkandung banyak petunjuk dan perintah yang bisa membimbing umat ini hidup lurus agar berhak mendapatkan pertolongan dari Allâh Ta’ala.

Allâh Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari para saksi-saksi dibangkitkan (hari Kiamat).”
(Qs Ghâfir/40:51)
Allâh Ta’ala juga berfirman dalam surat at-Taubah/9 ayat ke-38 s/d ayat ke-40 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allâh” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu ? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat ? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allâh menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikit pun. Allâh Maha Kuasa atas segala sesuatu. Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allâh telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah); sedang dia salah satu dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allâh beserta kita.” Maka Allâh menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan al-Qur`ân menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allâh itulah yang Tinggi. Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Qs at-Taubah/9:38-40)
Orang yang memperhatikan dengan seksama firman Allâh Ta’ala dalam surat at-Taubah/9 ayat ke-38 s/d ayat ke-40 di atas serta ayat-ayat tentang perang Badar, Ahzâb dan Hunain, dia akan tahu bahwa Allâh Ta’ala telah menolong kaum Muslimin.

Dalam perang Badar, Allâh Ta’ala menolong mereka dengan mengirimkan para malaikat yang memiliki tanda yang bergabung dengan pasukan kaum Muslimin. Dalam perang Ahzâb, Allâh Ta’ala menolong kaum Muslimin dengan mengirimkan angin (yang bisa mengusir musuh) dan tentara. Allâh Ta’ala menolong hamba-Nya, memenuhi janji-Nya serta menghancurkan pasukan sekutu Quraisy.

Dalam perang Hunain, ketika sekelompok besar umat Islam telah mundur dari medan pertempuran (mereka melarikan diri), lalu Allâh Ta’ala menurunkan ketenangan pada hati Rasul-Nya dan hati kaum Muslimin. Sementara di pihak orang-orang kafir, Allâh Ta’ala mengirimkan tentara yang tidak terlihat mata dan Allâh Ta’ala menyiksa orang-orang yang kafir. Itulah balasan bagi orang-orang kafir.

Orang yang memperhatikan hadits yang menjelaskan tentang peristiwa hijrah Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam, dia akan tahu bahwa Allâh Ta’ala telah menggagalkan rencana busuk orang-orang kafir. Allâh Ta’ala mencabut penglihatan mereka ketika Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam keluar dari rumah Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam. Begitu pula ketika orang-orang kafir mendekati persembunyian Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam di Gua Hira.

Allâh Ta’ala juga melindungi Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam dari kejaran Surâqah bin Mâlik, dia terjatuh ketika hampir berhasil menyusul Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam. Allâh Ta’ala telah menggagalkan segala tipu daya yang dilakukan orang-orang kafir.

Dengan merenungi ini, setiap Muslim akan menyadari bahwa dia memiliki kewajiban yang tidak boleh diabaikan yaitu beramal shalih. Dengan amal shalih dakwah Islam akan tersebar, dakwah untuk mengembalikan kejayaan akan tersebar, juga dakwah untuk mengembalikan sebagian negeri yang telah dirampas, merebut kembali Masjidil Aqsha dan lain sebagainya. Ini hanya akan terwujud dengan pertolongan dari Allâh Ta’ala yang Maha Perkasa dan Maha Bijak. Bukan dengan teriakan-teriakan kosong dan hampa, tapi dengan menegakkan syariat dan agama Allâh Ta’ala.

Dalam surat an-Nûr, Allâh Ta’ala berfirman :

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
(Qs an-Nûr/24:56)
Dengan dahi yang senantiasa sujud, tangan yang senantiasa basah dengan air wudhu, jiwa yang bersih, badan yang selalu disucikan dan lisan yang terjaga, kemenangan itu akan nyata. Setiap orang hendaknya merasa memiliki tanggungjawab dalam mewujudkan kemenangan demi menyelamatkan al-Quds, menjaga darah kaum Muslimin dan wilayah mereka. Hendaklah masing-masing orang melaksanakan kewajibannya ini.

Allâh Ta’ala berfirman :

“Hai orang-orang Mukmin, jika kamu menolong (agama) Allâh, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(Qs Muhammad/47:7)
Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wassallam bersabda :

“Jagalah Allâh, pasti Allâh akan menjagamu ! Jagalah Allâh maka pasti engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu ! Jika engkau memohon, maka mohonlah kepada Allâh ! Jika engkau hendak minta tolong maka mohonlah pertolongan kepada Allâh ! Ketahuilah, jika seluruh umat berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan mampu memberikan manfaat apapun kepadamu kecuali manfaat yang telah ditetapkan oleh Allâh Ta’ala untukmu. Jika mereka berkumpul untuk membahayakanmu, maka mereka tidak akan mampu membahayakanmu dengan apapun juga kecuali dengan apa yang Allâh Ta’ala tetapkan untukmu. Pena-pena sudah diangkat dan tinta sudah kering.”
Kalian memohon kemenangan dari Allâh Ta’ala, akan tetapi masih kurang peduli dengan syari’at Allâh Ta’ala?!

Hendaklah setiap Muslim melaksanakan amanahnya ! Hendaklah dia senantiasa merasa diawasi oleh Allâh Ta’ala dalam mengurusi tanggung-jawabnya.

Semoga Allâh Ta’ala menolong kita dan memberikan kemenangan kepada kita di bumi ini dengan agama yang diridhai oleh Allâh Ta’ala ini. Semoga Allâh Ta’ala menggantikan rasa cemas dengan rasa aman, menggantikan kefakiran dengan kekayaan agar kita bisa melaksanakan syari’at-Nya, menjalankan agama ini. Semoga Allâh Ta’ala memberikan pertolongan kepada orang beriman kepada-Nya dan berjalan di atas syari’at-Nya.

Pernahkah Anda Menapaki Jalan Berduri?

Oleh Abdullah (Mahasiswa Ma’had Ali Al-Imam Asy-Syafii Jember)


Judul di atas adalah jawaban yang diberikan oleh Ka’ab Al-Ahbar kepada Umar Bin Khotob ketika beliau bertanya tentang makna takwa kepada Ka’ab. Kemudian Ka’ab berkata, “apa yang anda lakukan?” Umar pun menjawab, “Aku berhati-hati dan berusaha agar tidak tertusuk”. “itulah takwa!” jawab Ka’ab.

Karena itu Ibnul Mu’taz berkata:

Tinggalkanlah segala dosa, meski yang kecil

Maupun yang besar, karena itulah hakikat ketakwaan

Berlakulah seperti pejalan kaki di atas jalan berduri

Dia menghindari setiap duri yang dilihatnya

Jangan sekali-kali meremehkan dosa kecil, sebab

Sesungguhnya gunung yang besar juga terangkai dari batu-batu kerikil

Sesungguhnya seorang muslim dituntut untuk memohon kepada Allah Ta’ala agar dianugerahi ketakwaan. Sesungguhnya do’a seperti ini menjadi bagian do’a Nabi, padahal beliau adalah manusia yang paling takut dan bertakwa kepada Allah. Beliau berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya akau memohon hidayah, ketakwaan, kesucian dan sifat cukup kepada-Mu” (HR. Muslim)

Ketakwaan merupakan pakaian terbaik yang telah Allah perintahkan kepada kita untuk kita kenakan, serta bekal terbaik yang Dia perintahkan untuk kita jadikan bekal, selain takwa tidak ada yang pantas untuk dijadikan bekal dalam pengembaraan kita menuju negeri akherat yang penuh dengan kenikmatan. Kenikmatan abadi yang tidak pernah terputus, kekal abadi selama-lamanya. Dan dunia pastilah berkesudahan. Ketakwaan juga merupakan hak Allah Ta’ala atas segenap hamba-Nya. Yaitu, agar mereka bertakwa kepada-Nya denga sebenar-benar takwa. Dan ketakwaan merupakan wasiat-Nya bagi generasi awal hingga akhir. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan juga kepada kalian agar bertakwalah kepada Allah” (Annisa:131)

Wasiat Takwa

Secara garis besar takwa merupakan wasiat Allah kepada semua makhluk-Nya dan juga wasiat Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Adalah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengutus seorang pemimpin dalam peperangan, beliau mewasiatkan kepadanya agar bertakwa kepada Allah bersama kaum muslimin (HR. Muslim 1731)

Ketika Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam khutbah pada haji wada’, beliau mewasiatkan kepada manusia agar bertakwa kepada Allah Ta’ala dan patuh serta taat kepada pemimipin kaum muslimin (HR. Muslim 1297, 1838)

Para salafusholih juga senantiasa saling mewasiatkan kepada ketakwaan. Adalah Abu Bakar Shidiq radiyallahu’anhu berkata di dalam khutbahnya berkata, “ ‘amma ba’du, aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah Ta’ala, senantiasa memuji kepada-Nya karena Dialah yang berhak dipuji, gabungkanlah rasa harap dan takut, dan memohonlah kepada Allah dengan dengan sebenar-benarnya, karena Allah Subhanahu Wata’ala memuji Zakaria dan ahli baitnya. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh mereka selalu bersegera dalam mengerjakan kebaikan, dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada Kami” (Al-Anbiya : 90)

Seorang laki-laki berkata kepada Yunus bin ‘ubaid, ‘berilah aku wasiat!’, maka beliau berkata kepadanya, ‘aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang bertakwa dan yang berbuat kebaikan.

Dan dikatakan kepada seorang tabi’in menjelang wafatnya, ‘berilah kami wasiat’, kemudian beliau berkata, “Aku wasiatkan kalian dengan penutup surat an-nahl : ‘Sesungguhnya Allah bersama orang-orang bertakwa dan yang berbuat kebaikan’ (An-Nahl ;128)

Bertakwalah Wahai Hamba Allah

Menurut bahasa takwa berarti menjaga diri atau berhati-hati. Adapun menurut istilah syar’I, para ulama telah memberikan beragam definisi tentang takwa. Secara umum, semuanya berkisar pada satu makna, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi segala hal yang dilarang.

Thalq bin Habib berkata, “Takwa artinya Anda melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu dan iman) dari Allah karena mengharap pahala dari-Nya, dan engkau meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan cahaya dari-Nya, karena takut terhadap siksa-Nya”

Ali bin Abi Tholib berkata, “Takwa adalah takut kepada Allah Ta’ala Yang Maha Perkasa, mengamalkan kandungan Al-Qur’an, merasa cukup dengan yang sedikit dan mengambil bekal untuk perjalanan menuju akherat”

Rukun Ketakwaan

1) Ikhlas

2) Ittiba’ (Mengikuti Petunjuk Rosul)

Allah Ta’ala berfirman, “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qobil) menurut apa yang sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil), dan tidak deterima dari yang lain (Qobil). Ia (Qobil) berkata, ‘Aku pasti membunuhmu!’ berkata Habil, ‘sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa’.”(Al-Maidah : 27)

Banyak orang berbeda pendapat tentang firman Allah : “Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang bertakwa”

-golongan khowarij dan mu’tazilah berpendapat bahwa kebaikan tidak akan diterima kecuali dari orang yang bertakwa secara mutlak, yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar.

-golongan murji’ah berpendapat bahwa kebaikan hanya diterima dari orang yang menjaga dirinya dari kesyirikan. Mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar termasuk kategori orang-orang yang bertakwa.

-sedangkan menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kebaikan diterima dari orang yang bertakwa di dalam amal tersebut, yaitu sebuah amal yang tulus karena Allah Ta’ala dan sesuai dengan perintah-Nya (mencontoh Rosul). Maka siapa saja yang bertakwa di dalam amalnya, amal tesebut akan diterima walaupun dia melakukan kemaksiatan dalam hal lainnya. Dan siapa yang tidak bertakwa dalam amal tersebut, maka amal tersebut tidak akan diterma, walaupun dia taat dalam hal lainnya.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata tentang firman Allah Ta’ala, “Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya”. Bahwa amal yang terbaik adalah amal yang paling ikhlas dan benar. Kemudian orang-orang bertanya kepada beliau, “wahai Abu Ali, apa yang dimaksud dengan amal yang paling ikhlas dan benar?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya sebuah amal jika ikhlas tetapi tidak benar, maka amal tersebut tidak akan diterima, dan jika amal tersebut benar tetapi tidak ikhlas, maka tidak akan diterima pula. Amal tersebut akan diterima jika benar dan ikhlas. Ikhlas artinya hanya untuk Allah Ta’ala, sedangkan benar artinya sesuai dengan sunnah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Sebagaimana kita semua diperintahkan agar hanya takut kepada Allah Ta’ala, bertawakal hanya kepada-Nya, berharap hanya kepada-Nya, memohon pertolongan hanya kepada-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya, kita juga diperintahkan agar mengikuti Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentaatinya dan menjadikannya suri tauladan. Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan olehnya, yang haram adalah sesutau yang diharamkan olehnya dan ajaran agama adalah segala Sesuatu yang ditetapkannya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sekiranya mereka mau puas dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rosul-Nya, dan berkata, “cukuplah Allah bagi kami, Allah dan Rosul-Nya akan memberikan kepada kami sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya kami orang-orang yang berharap kepada Allah” (At-Taubah : 59)

Allah Ta’ala menjadikan sumber hukum hanya milikNya dan RosulNya, sesuai dengan firmanNya, “Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat keras siksaNya” (Al-Hasyr : 7)

3) Ilmu

Imam Ibnu Rajab rahimahulloh mengatakan, “Pokok ilmu adalah pengetahuan terhadap Allah Ta’ala yang mendatangkan rasa takut dan cinta kepada-Nya, serta selalu mendekat dan rindu kepada-Nya. Selanjutnya adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah Ta’ala dan segala apa yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala dari hamba-Nya berupa perkataan, perbuatan, keadaan maupun keyakinan. Siapa saja yang terwujud dua ilmu ini pada dirinya maka ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Ia memperoleh ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang merasa puas dan do’a yang didengar”

Abu Darda radiyallahu’anhu berkata, “Kamu selamanya tidak akan menjadi orang yang bertakwa sampai kamu berilmu, dan ilmu tersebut tidak akan menjadikanmu baik sampai kamu mengamalkannya”

Mungkinkah seorang yang bertakwa tapi tidak memiliki ilmu?! Dari mana seseorang mengetahui perintah dan larangan Allah Ta’ala kalau dia tidak menuntut ilmu?! Sebuah kemustahilan seseorang bisa mewujudkan penghambaan dirinya kepada Allah Ta’ala secara sempurna jika dia tidak memiliki ilmu tentangnya.

Jelaslah bagi kita ilmu merupakan syarat mutlak menggapai ketakwaan yang sebenarnya.

Keutamaan Takwa

Banyak keutamaan takwa di dalam Al-Qur’an, diantarnya :

Amal yang bisa mengangkat derajat seseorang di dalam surga (Az-Zumar : 20)
Allah Ta’ala bersama orang-orang yang bertakwa (An-Nahl : 128)
Takwa adalah sebaik-baik bekal seorang hamba di dunia dan di akherat (Al-Baqoroh : 197)
Dimudahkan urusan di dunia dan di akherat, serta dimudahkan rizkinya (Ath-Tholaq : 4)
Takwa sebagai sebab seorang hamba dicintai Allah Ta’ala (Al-Imron : 76)
Surga diwariskan bagi orang-orang yang bertakwa (Maryam : 63)
Ciri-ciri Orang Yang Bertakwa

Allah Ta’ala berfirman, “Dan bersgeralah kamu mencari pengampunan dari Rabbmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang berinfak baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosanya itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka adalah ampunan dari Rabb mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal” (Ali’Imron : 133-136)

Mengaku Keturunan Rasul

Dikalangan kaum muslimin, khususnya di negeri kita ini sering kita mendengar bahwa ada seorang tokoh yang merupakan keturunan Nabi. Dan dipanggil lah tokoh tersebut dengan sebutan Habib. Bahkan gelar ini mereka buktikan dengan skema nasab yang mereka miliki yang bertemu dengan nasab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, atau dibuktikan dengan semacam ijazah atau sertifikat. Ironisnya, gelar nasab ini seolah-olah menjadi kartu truf yang akhirnya menjadi dalil halalnya segala perbuatan yang mereka lakukan, baik perbuatan yang telah jelas merupakan kemaksiatan, perbuatan bid’ah dalam agama, bahkan sampai kesyirikan. Lalu bagaimanakah sebenarnya sikap Ahlussunnah terhadap tokoh keturunan Nabi atau yang disebut dengan golongan Ahlul Bait ? Berikut ini pembahasannya oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr hafizhahullah.[1]

AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH TERHADAP AHLUL BAIT SECARA GLOBAL

Akidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah pertengahan antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri, antara berlebihan dan meremehkan dalam segala perkara akidah. Diantaranya adalah akidah mereka terhadap ahlu bait Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, mereka berloyalitas terhadap setiap muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muththalib, dan juga kepada para istri Rasul shallallahu’alaihi wa sallam semuanya. Ahlus Sunnah mencintai mereka semua, memuji dan memposisikan mereka sesuai dengan kedudukan mereka secara adil dan objektif, bukan dengan hawa nafsu atau serampangan. Mereka mengakui keutamaan orang-orang yang telah Allah beri kemulian iman dan kemuliaan nasab. Barangsiapa yang termasuk dari ahlul bait dari kalangan sahabat Rasulullah, maka mereka (Ahlussunnah) mencintainya karena keimanan, ketaqwaan serta persahabatannya dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam.

Adapun mereka (ahlul bait) selain dari kalangan sahabat, maka mereka mencintainya karena keimanan. Ketaqwaan, dan karena kekerabatannya dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Mereka berpendapat bahwa kemuliaan nasab itu mengikut kepada kemuliaan iman. Barangsiapa yang diberi oleh Allah kedua hal tersebut, maka Dia telah menggabungkan antara dua kebaikan. Dan barangsiapa yang tidak diberi taufik untuk beriman, maka tidak bermanfaat sedikitpun kemuliaan nasabnya. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu”. (QS. Al-Hujurat: 13)

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam akhir hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, No. 2699 dari Abu Hurairoh radliyallahu’anhu:
و من بطأ به عمله لم يسرع به نسبه

“Barangsiapa yang diperlambat oleh amal perbuatannya maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya”

Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata seraya menjelaskan hadits di atas dalam kitab beliau Jami’ al ‘Ulum wa al-Hikam, hlm. 308: Maknanya, bahwa amal perbuatan itulah yang menjadikan seorang hamba sampai kepada derajat (yang tinggi) di akhirat, sebagaimana firman Allah:
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُوا وَمَارَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya” (QS. Al-An’am: 132)

Barangsiapa yang lambat amal ibadahnya untuk sampai kepada kedudukan yang tinggi disisi Allah, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya, untuk menyampaikannya kepada derajat tersebut. Sesungguhnya Allah menyediakan pahala sesuai dengan amal perbuatan bukan karena nasab, sebagaimana firman Allah:
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلآ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَيَتَسَآءَلُونَ

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya”. (QS. Al-Mukminun: 101)

Dan Allah ta’ala telah memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan dan rahmat-Nya dengan berbuat amal ibadah, sebagaimana firman-Nya:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali ‘Imron: 133-134)

Dan firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun: 57-61)
Kemudian beliau (Imam Ibnu Rajab rahimahullah) menyebutkan dalil-dalil tentang anjuran untuk beramal shalih, dan bahwasanya hubungan dekat dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam itu diperoleh dengan ketakwaan dan amal shalih. Lalu beliau menutup pembahasan tersebut dengan hadits ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’ahu yang tercantum dalam Shahih Bukhori, No. 5990 dan Shahih Muslim, No. 215, beliau berkata: Yang menguatkan hal ini semua adalah apa yang tercantum dalam Shahih Bukhori dan Muslim dari ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’anhu, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya keluarga Abu Fulan bukan termasuk wali-wali (orang terdekat) ku. Sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang-orang yang shalih dari orang-orang yang beriman”.

Ini mengisyaratkan bahwa kedekatan dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak bisa diraih dengan nasab, meskipun dia adalah kerabat beliau. Akan tetapi, semuanya itu diraih dengan iman dan amal shalih[2]. Barangsiapa yang lebih sempurna keimanannya dan amal shalihnya, maka dia lebih agung kedekatannya dengan beliau, baik dia punya kekerabatan dengan beliau atau tidak. Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh seorang penyair:

Sungguh, tidaklah manusia itu (dimuliakan) melainkan dengan agamanya

Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan, dan hanya bersandar kepada nasab

Sungguh, Islam telah mengangkat derajat Salman (al-Farisi) dari Persia

Dan kesyirikan menghinakan Abu Lahab yang memiliki nasab (yang tinggi).

Hal ini berlainan dengan ahli bid’ah, mereka berlebihan terhadap sebagian ahlul bait. Bersmaaan itu pula mereka berbuat kasar/jahat terhadap mayoritas para sahabat radliyallahu’anhum. Diantara contoh sikap berlebihan mereka terhadap 12 imam ahlul bait, yakni Ali, Hasan, Husain radliyallahu’anhum, dan 9 keturunan Husain adalah apa yang tercantum dalam kitab al-Kafi oleh al-Kulaini [3]…Bab: Bahwasanya Para Imam Tersebut Mengetahui Kapan Mereka Akan Mati dan Tidaklah Mereka Mati Melainkan Dengan Pilihan Mereka Sendiri, Bab: Bahwasanya Imam-Imam ‘alaihimussalam Mengetahui Apa Yang Telah Terjadi dan Apa yang Akan Terjadi, dan Tidak Ada Sesuatupun yang Tersembunyi Bagi Mereka.

Dan sikap berlebihan inipun dikatakan oleh tokoh kontemporer mereka, yaitu Khumaini dalam kitabnya al-Hukumah al-Islamiyah (hlm. 52 cetakan al-Maktabah al-Islamiyah al-Kubra, Teheran): Sesungguhnya diantara prinsip madzhab kita, bahwasanya imam-imam kita memiliki kedudukan yang tidak bisa digapai oleh malaikat yang dekat (dengan Allah) maupun Nabi yang diutus (oleh Allah).

HARAMNYA MENGAKU-NGAKU SEBAGAI KETURUNAN AHLUL BAIT

Semulia-mulia nasab adalah nasab Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Dan semulia-mulia penisbatan adalah kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam dan kepada Ahli Bait, jika penisbatan itu benar. Dan telah banyak di kalangan arab maupun non arab penisbatan kepada nasab ini. Maka barangsiapa yang termasuk ahlul bait dan dia adalah orang yang beriman, maka Allah telah menggabungkan antara kemuliaan iman dan nasab. Barangsiapa mengaku-ngaku termasuk dari nasab yang mulia ini, sedangkan ia bukan darinya, maka dia telah berbuat suatu yang diharamkan, dan dia telah mengaku-ngaku memiliki sesuatu yang bukan miliknya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Orang yang mengaku-ngaku dengan sesuatu yang tidak dia miliki maka dia seperti pemakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 2129 dari Hadits Aisyah radliyallahu’anha)

Disebutkan dalam hadits-hadits shahih tentang keharaman seseorang menisbatkan dirinya kepada selain nasabnya. Diantara hadits Abu Dzar radliyallahu’anhu, bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”.[4] (HR. al-Bukhori, No. 3508 dan Muslim, No. 112)

Dan dalam Shahih al-Bukhori, No. 3509 dari hadits Watsilah bin al-Asqa’zia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Seungguhnya sebesar-besar kedustaan adalah penisbatan diri seseorang kepada selain ayahnya atau mengaku bermimpi sesuatu yang tidak dia lihat, atau dia berkata atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan”.[5]
[1] Diterjemahkan dan disarikan dari kitab Fadhl Ahli al-Bait wa ‘Uluww Makaanatihim ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah oleh Abdurrahman bin Thayyib as-Salafi. Sumber: Majalah Adz-Dzakiroh Vol. 8 No. 1 Edisi 43 Ramadhan-Syawal 1429 H. Kami hanya mengambil dua poin pembahasan dari tiga yang dibahas di sumber tersebut.

[2] Jadi, mereka yang mengaku sebagai keturunan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam tapi gemar berbuat kesyirikan, mengkultuskan kuburan-kuburan wali yang tekah mati, mengadukan shalawat-shalawat bid’ah plus syirik (Burdah, Nariyah, Diba’, dll), rajin berbuat bid’ah (perayaan maulid, haul, tahlilan), maka tidak bermanfaat pengakuan tersebut dan tidak perlu dihormati ataupun disegani, pen.

[3] Tokoh ulama Syi’ah yang binasa pada tahun 329 H, yang dianggap seperti imam Bukhorinya Ahlussunnah, pen.

[4] Maka berhati-hatilah mereka yang memakan harta kaum muslimin dengan cara batil dengan mengaku-ngaku sebagai keturunan rasul shallallahu’alaihi wa sallam dan menjual akidah serta agama mereka. Na’udzubillahi mindzalik. pen

[5] Diringkaskan dari halaman 84-95

Sumber: http://maramissetiawan.wordpress.com

Rabu, 07 April 2010

Persatuan adalah Rahmat, Perpecahan adalah Adzab

“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (Hud: 118-119)

Penjelasan mufradat ayat

لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً

“Dia menjadikan manusia umat yang satu.”
Kata ﭖ (umat) disebutkan dan terulang dalam Al-Qur’an dengan makna yang berbeda-beda. Makna-makna tersebut tidak terlepas dari salah satu makna berikut ini:
- Bermakna thaifah, yaitu jamaah (kelompok orang). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut itu.” (An-Nahl: 36)
- Bermakna imam (pemimpin yang dapat dijadikan teladan). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah, lagi hanif.” (An-Nahl: 120)
- Bermakna millah (agama, ajaran). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama.” (Az-Zukhruf: 23)
- Bermakna zaman (masa, waktu). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya.” (Yusuf: 45)
Adapun kata umat yang disebutkan dalam pembahasan tafsir ayat kali ini, mengandung arti millah (agama, ajaran).
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu (ketika menafsirkan ayat ini) menyebutkan beberapa pendapat tentang makna umat dalam ayat ini. Sa’id bin Jubair rahimahullahu mengatakan bahwa maknanya adalah semua menganut agama Islam.
Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata: “Semuanya menjadi penganut agama yang satu, baik sebagai penganut kesesatan atau sebagai penganut kebenaran.”
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu (lihat pada tafsir ayat ini) berkata: “Mereka semua jamaah yang satu, menganut millah dan agama yang satu (sama).” Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Qatadah, ia berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka muslim semuanya.” Pendapat yang semisal juga dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam kitab tafsirnya.

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai kata berselisih dalam ayat ini:
1. Ada yang berpendapat maknanya adalah berbeda-beda dalam hal agama, keyakinan, kepercayaan, dan madzhab mereka. Sehingga manusia senantiasa berada di atas (menganut) agama yang berbeda-beda, dari mulai agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan musyrik. Pernyataan ini diucapkan oleh Mujahid dan Qatadah rahimahumallah.
2. Maknanya adalah berbeda dalam hal rezeki. Sebagian mereka ada yang kaya, ada yang miskin, sebagian mereka merendahkan sebagian yang lain. Al-Alusi rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Ini pendapat yang gharib (asing).”
3. Maknanya adalah sebagian menjadi pengikut kebenaran dan sebagian menjadi pengikut kebatilan. Sehingga para pengikut kebatilan senantiasa menyelisihi pengikut kebenaran.
4. Maknanya, ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) senantiasa menyelisihi jalan yang lurus, mengikuti jalan yang menyimpang, sehingga mengantarkan mereka ke dalam neraka. Masing-masing memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya. Adapun kesesatan (kesalahan) ada pada pendapat orang lain.

إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

“Kecuali orang yang dirahmati oleh Rabbmu.”
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Akan tetapi orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati dengan iman dan petunjuk, mereka tidak akan berselisih.”
Al-Hasan rahimahullahu: “Orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati tidak akan berselisih.”
Mujahid rahimahullahu berkata: “Mereka adalah ahlul haq (pengikut kebenaran).”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati dalam ayat ini adalah mereka yang menjadi pengikut para rasul, berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan dalam agama yang telah diberitakan para rasul kepada mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (4/25): “Mereka adalah pengikut para nabi, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Mereka adalah ahlul Qur’an dan ahlul hadits dari kalangan umat ini. Maka siapa pun yang menyelisihi mereka dalam sebuah perkara, luputlah darinya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kadar penyelisihannya terhadap perkara tersebut.

وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ

“Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.”
Asyhab berkata: “Aku bertanya kepada Al-Imam Malik rahimahullahu tentang tafsir ayat ini, beliau menjawab: ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka supaya ada kelompok yang masuk ke dalam jannah dan ada kelompok yang masuk ke dalam neraka’.”
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Untuk ikhtilaf (berselisih)lah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka.” Dalam riwayat lain, beliau berkata: “Untuk rahmat mereka diciptakan.” Di sebagian riwayat lain beliau berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka sebagian menjadi penduduk jannah, sebagian menjadi penduduk neraka. Sebagian ada yang celaka, sebagian ada yang bahagia.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka menjadi dua golongan. Hal itu seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ

“Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (Hud: 105)
Thawus rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan mereka untuk berselisih, akan tetapi menciptakan mereka untuk bersatu dan rahmat.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Untuk rahmatlah mereka itu diciptakan dan tidak untuk azab.”

Penjelasan makna ayat
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwasanya kalau Ia menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia semuanya sebagai umat yang satu menganut agama Islam. Karena sesungguhnya kehendak-Nya tidak terbatas dan tidak ada suatu apapun yang menghalangi-Nya. Akan tetapi hikmah Allah l menetapkan mereka senantiasa berselisih pendapat, menyelisihi jalan yang lurus, mengikuti jalan-jalan yang mengantarkan ke neraka. Masing-masing memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya, adapun kesesatan ada pada pendapat selainnya. “Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu” maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk mereka kepada ilmu yang benar dan mengamalkannya serta memberi taufik di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taufik-Nya senantiasa menyertai mereka. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang tertipu, menyandarkan urusannya kepada diri mereka masing-masing. “Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka,” hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa mereka diciptakan agar ada dari sebagian mereka yang bahagia (selamat) dan ada yang celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada golongan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk dan ada pula golongan yang tersesat. Agar nampak jelas keadilan dan hikmah-Nya bagi manusia. Juga supaya nampak apa yang tersembunyi pada tabiat manusia, berupa hal yang baik dan yang buruk. Juga untuk tegaknya jihad dan ibadah, yang mana keduanya tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali dengan adanya sebuah ujian dan cobaan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, pada surat Hud: 118-119)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Ia mampu untuk menjadikan manusia semuanya menjadi umat yang satu, baik di atas keimanan ataupun di atas kekufuran. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا

“Dan jikalau Rabbmu menghendaki tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya.” (Yunus: 99)
Persatuan merupakan perkara yang prinsip dalam agama
Dalam Islam dikenal adanya perkara-perkara yang prinsip dan mendasar, yang sangat penting untuk diketahui bersama. Salah satu prinsip tersebut adalah persatuan (di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful ummah).
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu dalam risalahnya Al-Ushul As-Sittah (Enam Prinsip Agama) menyebutkan: “Adapun prinsip yang kedua adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan persatuan dalam agama dan melarang dari perpecahan.” Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah berkata dalam Silsilah Syarh Rasa’il (hal. 24-26): “Prinsip ini ada pada Al-Qur’anul Karim.” Kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat, di antaranya:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Kemudian beliau berkata: “Kaum muslimin tidak boleh bercerai-berai dalam agama mereka. Yang wajib adalah mereka menjadi umat yang satu di atas tauhid, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabb kalian maka sembahlah Aku. (Al-Anbiya’: 92)
Umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh terpecah-belah dalam aqidah, ibadah, dan hukum agama mereka. Satu mengatakan halal, yang lain mengatakan haram tanpa disertai dalil. Yang demikian ini tidak diperbolehkan. Tidak diragukan bahwasanya perselisihan adalah bagian dari tabiat manusia, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:

وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Namun perselisihan hendaknya diselesaikan, yaitu diputuskan dengan mengembalikan perkaranya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga apabila terjadi perselisihan antara saya dengan anda, wajib atas kita semua untuk mengembalikannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59)
Adapun pernyataan bahwa masing-masing (berhak) mempertahankan madzhab (pendapat)nya, masing-masing (berhak) mempertahankan aqidahnya, manusia bebas dalam berpendapat, menuntut kebebasan dalam beraqidah, kebebasan dalam berucap; ini adalah kebatilan (tidak benar) dan termasuk perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang, sebagaimana firman-Nya:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)

Persatuan adalah rahmat sekaligus karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung
Seperti yang tersebut dalam penjelasan di atas, persatuan umat adalah suatu perkara yang mulia, dan hal itu semata-mata rahmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Sebagaimana yang tersebut dalam ayat:

وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati dengan iman dan petunjuk, mereka tidak akan berselisih.”
Termasuk karunia agung yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada hamba-Nya adalah Allah l menurunkan syariat kepada mereka dengan sebuah agama terbaik dan termulia, yang paling bersih dan paling suci, yaitu agama Islam. Agama tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan bagi hamba-hamba pilihan-Nya dan yang bagus, bahkan yang paling bagus dan yang paling terpilih. Mereka adalah ulul azmi dari para rasul. Mereka adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dan paling sempurna dari segala sisi. Maka, agama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan untuk mereka, mengharuskan adanya sisi keserasian dengan keadaan mereka. Sesuai dengan kesempurnaan mereka. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan dan memilih mereka, karena mereka menegakkan (menjalankan) agama itu. Kalau bukan agama Islam, tidaklah seorang pun terangkat derajatnya dari yang lain. Ia merupakan inti kebahagiaan, poros utama kesempurnaan.
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menegakkan (melaksanakan) syariat-syariat agama, baik yang prinsip maupun yang cabang. Ditegakkan pada diri mereka masing-masing dan berupaya untuk ditegakkan pada yang lainnya. Saling menolong di atas kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran. Maka Allah l perintahkan agar tidak berselisih di dalamnya, untuk meraih kata sepakat di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya.
Oleh karena itu, berupayalah agar setiap permasalahan tidak menyebabkan berpecah-belahnya dan terkotak-kotaknya kalian. Masing-masing membanggakan kelompoknya. Sebagian memusuhi yang lain, meskipun di atas agama yang satu.
Di antara jenis persatuan di atas agama dan tidak mengandung perselisihan adalah apa yang diperintahkan syariat untuk bersatu pada perkumpulan yang bersifat umum. Seperti persatuan dalam pelaksanaan ibadah haji, pelaksanaan Iedul Fitri, Iedul Adha dan shalat Jum’at, shalat berjamaah lima waktu, jihad, dan ibadah-ibadah lainnya, yang tidak sempurna kecuali dengan persatuan dan menghindari perselisihan padanya. (Taisir Al-Karimir Rahman pada ayat 13 dari surat Asy-Syura)

Perpecahan adalah suatu kepastian
Salah satu ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak bisa diingkari yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan manusia dalam keadaan senantiasa berselisih pendapat, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:

وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Hud: 118)
Hal ini juga sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan.” (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud no. 4596, At-Tirmidzi no. 2778 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hikmah dari ketetapan bahwa umat ini akan senantiasa berselisih, Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:

وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah akan menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlombalah berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 48)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu berkata pada tafsir surat Hud ayat 119: “Hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa mereka diciptakan (senantiasa berselisih) agar ada dari sebagian mereka yang bahagia dan ada yang celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada golongan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk dan ada golongan yang tersesat. Demikian pula agar nampak keadilan dan hikmah-Nya bagi manusia. Juga supaya nampak apa yang tersembunyi dari tabiat manusia berupa hal yang baik dan yang buruk, serta tegaknya jihad dan ibadah yang mana keduanya tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali dengan melewati sebuah ujian dan cobaan.”
Perpecahan adalah azab
Sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan akan terjadinya perselisihan pada hamba-hamba-Nya. Namun hal ini bukanlah menjadi hujjah (alasan) untuk senantiasa bangga dan senang hidup di atas perselisihan. Karena pada ayat-ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan celaan terhadap perselisihan dan melarang menyerupai kaum musyrikin serta memerintahkan kepada persatuan.
Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata dalam Silsilah Syarh Rasa’il (hal. 27-28): “Perselisihan bukanlah rahmat. Perselisihan adalah azab.”
Kemudian beliau menyebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.” (Ali ‘Imran: 105)
Maka perselisihan mengakibatkan tercerai-berainya hati dan terpecah-belahnya umat. Apabila telah terjadi perselisihan, tidak mungkin bagi manusia untuk tolong-menolong, bantu-membantu. Bahkan yang akan terjadi sesama mereka adalah permusuhan, fanatisme (ta’ashub) kepada golongan dan kelompoknya. Tidak akan pernah terjadi bentuk ta’awun. Karena ta’awun itu akan terjadi apabila mereka bersatu, berpegang teguh kepada tali (agama) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini pulalah yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah meridhai atas kalian tiga perkara: beribadah hanya kepada-Nya dan jangan menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, berpegang teguh semuanya kepada tali agama Allah dan tidak bercerai-berai, serta menaati orang yang Allah menguasakan padanya urusan kalian kepadanya.” (HR. Muslim dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dari tiga hal yang disebutkan dalam hadits ini, yang menjadi pembahasan kita adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “berpegang teguhlah kepada tali agama Allah semuanya dan jangan bercerai-berai.” Hadits ini bukanlah bermakna tidak akan dijumpai perselisihan dan perpecahan, karena tabiat manusia adalah adanya perselisihan. Namun maknanya adalah apabila terjadi perselisihan atau perbedaan, hendaknya diselesaikan dengan mengembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sehingga berakhirlah perseteruan dan perselisihan. Inilah yang benar.
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah.” (Al-An’am: 159)

Orang yang dirahmati dijauhkan dari perselisihan
Qatadah rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang yang bersatu, meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka berjauhan atau berpisah. Adapun orang-orang yang durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang berselisih walaupun tempat tinggal dan badan mereka bersatu.”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati (yakni yang terhindar dari perselisihan) adalah pengikut para rasul yang berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan dalam agama-Nya, yaitu agama yang ajarannya telah diberitakan para rasul kepada mereka. Keteguhan ini terus senantiasa terjaga hingga datangnya Rasul dan Nabi yang terakhir (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menolongnya, sehingga mereka menjadi orang yang beruntung dengan kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itu karena mereka adalah kelompok yang selamat (Al-Firqatun Najiyah), seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dalam beberapa kitab Musnad dan Sunan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya: “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Siapapun yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku ada padanya.” (HR. Abu Dawud no. 3980, At-Tirmidzi no. 2778)

Hakikat persatuan dan solusi dari perpecahan
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata dalam Silsilah Syarh Rasail (hal. 26-27): “Sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala tidaklah membiarkan hamba-Nya berselisih dan berbeda pendapat tanpa meletakkan kepada kita timbangan dan solusi guna memperjelas kebenaran dari suatu kesalahan. Bahkan Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya).” (An-Nisa: 59)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya aku tinggalkan sesuatu kepada kalian, jika kalian berpegang teguh kepadanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Malik)
Seolah-olah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada di antara kita, dengan adanya Sunnah (hadits) yang jelas dan terjaga keshahihannya. Ini merupakan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas umat ini, di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan mereka dalam kebingungan. Namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan mereka dalam keadaan di sisi mereka ada sesuatu yang membimbing mereka di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran.
Adapun orang yang tidak menghendaki kebenaran dan ingin agar masing-masing dibiarkan pada madzhab, kepercayaan, dan keyakinannya, berkata: “Kita bersatu dalam perkara yang kita sepakat padanya dan kita saling memberikan toleransi atas sebagian yang lain dalam hal yang kita berselisih padanya.” Tidak diragukan bahwa ucapan ini adalah ucapan yang batil dan keliru. Yang wajib adalah bersatu di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Tidak boleh sebagian kita memberikan udzur atas sebagian yang lain dalam keadaan tinggal di atas perselisihan. Yang wajib adalah mengembalikannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang sesuai dengan kebenaran, kita ambil. Sedangkan yang salah harus kembali kepada kebenaran. Inilah yang wajib atas kita semua. Jangan biarkan umat dalam keadaan berselisih.
Mungkin mereka, para penyeru persatuan yang semu ini dan yang membiarkan umat dalam kondisi berselisih, berhujjah dengan hadits:
اخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perselisihan yang terjadi pada umatku adalah rahmat.”
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan, tetapi tidak shahih1.
Kemudian Al-Qur’an dan As-Sunnah bukanlah sebagai penengah atau pemutus perkara sebatas pada perselisihan yang terjadi dalam hal harta manusia, dan menjadi penegak hukum bagi mereka dalam harta serta perselisihan mereka dalam hal yang sifatnya dunawi semata. Bahkan keduanya adalah penegak hukum di antara mereka dalam setiap perselisihan dan pertentangan. Pertentangan dalam urusan aqidah lebih kuat dan lebih penting ketimbang pertentangan dalam perkara harta. Pertentangan dalam urusan ibadah, urusan halal dan haram lebih kuat dan lebih penting ketimbang pertentangan dalam urusan harta. Urusan pertentangan dalam masalah harta hanyalah bagian atau sebagian kecil dari perselisihan yang putusannya wajib berdasarkan Kitabullah.
Pada masa dahulu, terjadi perselisihan di antara para sahabat g. Akan tetapi begitu cepatnya mereka itu menyelesaikan dan mencari solusinya, dengan mengembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, sehingga berakhirlah perselisihan mereka.
Terjadi perselisihan di antara mereka setelah meninggalnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar masalah siapa yang pantas menjadi Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun betapa cepatnya mereka memutuskan perselisihan dan mengembalikan serta memercayakan urusan tersebut kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka pun menerima dan menaati Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan sirnalah perselisihan.
Sesungguhnya, kembali kepada Kitabullah akan menghilangkan sifat dendam dan dengki, maka tidak boleh seorang pun menyanggah Kitabullah. Karena jika Anda mengatakan kepada seseorang: “Mari kita berpegang kepada pendapat Imam Fulan atau ‘Alim Fulan,” tentunya dia tidak akan merasa puas. Akan tetapi kalau Anda katakan kepadanya: “Mari kita kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya,” jika dalam dirinya ada keimanan ia akan merasa puas dan rujuk dari kesalahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum dan mengadili di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (An-Nur: 51)
Inilah jawaban orang-orang mukmin (jika diseru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya). Adapun orang-orang munafik, apabila kebenaran bermanfaat dan membenarkan apa yang pada mereka, mereka akan datang dan mendengarkan dengan saksama. Akan tetapi jika kebenaran menyalahi mereka, mereka akan berpaling dan menentang, sebagaimana yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan tentang keadaan mereka.

Pajak Dalam Islam (Nasehat Untuk Para Pemungut Pajak)

Oleh: Abu Ibrahim Muhammad Ali

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya. [1] Kezhaliman dengan berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari kiamat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7]

Di antara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan pajak tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat kepada pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr [2] atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah: “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” [3]. Atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.[4]

Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau Al-Asysyar.

Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[5]

MACAM-MACAM PAJAK
Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Barang dan Jasa
Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
Pajak Transit/Peron dan sebagainya.
ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ DALAM ISLAM?
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam:

1). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.

2). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.
HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM
Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.

Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa : 29]

Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]

Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah & beliau berkata : ”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [7]

Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45.

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi]

KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” [8]

PAJAK BUKAN ZAKAT
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..” [9]

Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya:

1). Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya [10]. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasa di suatu tempat.

2). Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir [11] karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin

3). Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak. [12].

4). Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang cicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim]

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim] [www.almanhaj.or.id via http://suaraquran.com]
__________
Footnotes
[1]. Lihat Ali-Imran : 117 dan HR Muslim 2578 dari jalan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.
[2]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
[3]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi
[4]. Lihat Al-Mughni 4/186-203
[5]. Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku tersebut.
[6]. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.
[7]. Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani
[8]. Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali.
[9]. Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini
[10]. Lihat At-Taubah : 60
[11]. Lihat Al-Mughni 4/200
[12]. Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an 4/366

Kisah Nabi Yusuf dan Meminta Jabatan

“Jadikanlah aku bendaharawan negara Mesir.” (Yusuf: 55)

Padahal beliau tidak memasuki tugas ini kecuali setelah mendapatkan persaksian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tertulis pada persaksian tersebut:

“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi sangat berpengetahuan.” (Yusuf: 55)1

Ahli balaghah (sastra Arab) dapat membedakan antara kata الْحَافِظُ (yang berarti menjaga) dengan kata الْحَفِيظُ (yang sangat pandai menjaga), juga antara kata الْعَالِمُ(yang berilmu) dengan kata الْعَلِيمُ (yang sangat berpengetahuan). Maka perhatikan hal ini, karena sesungguhnya ini termasuk rahasia-rahasia Al-Qur`an yang penuh hikmah.

Sebagaimana diherankan dari yang lain juga, yang membolehkan diri mereka menerima jabatan politik masa ini –bersamaan dengan apa yang ada di dalamnya berupa sistem parlemen kafir atau jahat– berdalil dengan perbuatan Nabi Yusuf, sembari melalaikan bahwa Nabi Yusuf tidak memintanya. Namun raja itulah yang menawarkannya kepada beliau. Beliau juga tidak menerimanya melainkan ketika raja tersebut menjamin keamanan dan kebebasan baginya. Sehingga tidak ada tekanan, atau ancaman, atau mengorbankan agama, atau tarik ulur, atau tawar menawar, atau adu argumentasi. Oleh karena itu, perhatikan urutannya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan raja berkata: ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.’ Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi sangat berpengetahuan’.” (Yusuf: 54-55)

Adapun mereka (para politikus, pen), mereka telah takjub dan berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri. Sehingga setan menggambarkan suatu gambaran yang terbayang dalam benak mereka bahwa mereka akan kokoh dalam kebenaran. Sementara sebenarnya mereka leleh dalam keridhaan terhadap aturan manusia. Allah lah tempat memohon pertolongan.

Adapun Nabi Yusuf, beliau tidak mengorbankan agamanya dan tidak menyia-nyiakan kesungguhannya dalam siyasah (politik) yang syar’i. Tidak pula beliau melaksanakan undang-undang raja yang kafir, dengan dalih maslahat dakwah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (Yusuf: 76)

Bila kita mengalah (pada anggapan mereka yakni beliau minta jabatan, pen) maka kamipun akan mengatakan sebagaimana yang dinyatakan ulama ushul fiqih, ‘syariat umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita pada perkara yang menyelisihi syariat kita’. Padahal di sini syariat kita menyelisihinya, karena kita dilarang untuk minta jabatan. Seperti dalam hadits Abdurrahman bin Samurah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan, karena jika engkau diberi karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong). Namun jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong” (Muttafaqun ‘alaih)

Kami akan menjawab bahwa Nabi Yusuf telah disebutkan kesuciannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bekerja kecuali dengan bimbingan Allah. Yakni, semua manusia berlaku padanya kaidah “jika engkau diberi kepemimpinan karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak ditolong) ….” kecuali yang diberi predikat kesucian oleh wahyu yang tidak akan salah. Adapun mereka yang sok pandai pada masa ini, mereka tunduk pada kondisi undang-undang pada hari ini ataupun besok. Bahkan sebelum melaksanakan tugas poltiik tersebut, mereka harus bersumpah untuk menghormati undang-undang. Dan ini telah terjadi, bahkan kami tidak tahu bahwa selainnya juga telah terjadi. Maka sungguh ajaib orang yang menyingkirkan kekafiran dengan kekafiran.

Maka tersimpulkan dari ketergesaan ini lima jawaban:
1. Nabi Yusuf tidak meminta kepemimpinan, namun ditwarkan kepada beliau, sebagaimana ditunjukkan oleh susunan ayat. Maksimal yang ada dalam ucapan beliau

“Jadikan aku bendaharawan negeri (Mesir)” adalah keterangan tentang spesialisasinya dan pilihannya.

2. Beliau aman dari tekanan peraturan (negara) dan dipersilakan untuk mengamalkan syariat Islam. Dua hal ini hanyalah sebuah khayalan dalam realita aturan-aturan di muka bumi masa ini.

3. Bahwa beliau mendapat persaksian kesucian di mana beliau juga seorang Rasul. Sehingga tidak dikhawatirkan pada beliau apa yang dikhawatirkan pada orang lain.

Diriwayatkan oleh Muhammad bin Sirin rahimahullahu, bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu menugaskan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sebagai gubernur di daerah Bahrain. Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu datang membawa uang 10.000. Maka Umar mengatakan kepadanya: “Apakah engkau peruntukkan harta ini untuk kepentingan pribadimu, wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya?!”
Maka Abu Hurairah menjawab: “Aku bukan musuh Allah ataupun musuh kitab-Nya, akan tetapi justru musuh yang memusuhi keduanya.”
Umar menukas: “Lalu darimana hartamu ini?”
“Itu adalah kuda yang berkembang biak, dan hasil kerjaan budakku, serta pemberian yang datang beberapa kali,” jawab Abu Hurairah.

Mereka pun memeriksanya. Ternyata mereka mendapatkannya seperti apa yang dikatakan Abu Hurairah. Setelah hal itu berlalu, Umar memanggil Abu Hurairah untuk ditugaskan kembali akan tetapi beliau menolak. Maka Umar berkata: “Apakah kamu tidak suka jabatan ini, padahal telah memintanya orang yang lebih baik darimu, Yusuf ‘alaihissalam?”
Abu Hurairah menjawab: Yusuf adalah seorang nabi, putra seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan saya, Abu Hurairah, putra seorang ibu yang kecil. Dan aku khawatir tiga tambah dua (perkara -pent).”
Umar berkata: “Tidakkah kamu katakan lima saja?”
Abu Hurairah menjawab: “Saya khawatir berkata tanpa ilmu, memutuskan tanpa kesabaran dan pikir panjang, takut punggungku dicambuk, hartaku diambil dan kehormatanku dicela.”2

4. Syariat umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita pada perkara yang menyelisihi syariat kita. Dalam hal ini, syariat kita telah menyelisihinya.

5. Nabi Yusuf melakukan apa yang beliau lakukan pada tugasnya tersebut dengan posisi beliau sebagai seorang rasul. Seandainya pun seseorang diperbolehkan mengikuti beliau dalam urusan itu, maka pewarisnya secara syar’i adalah seorang mujtahid. Ibnu Abdil Bar berkata: “Bila yang demikian itu (menyebut keahliannya dalam kondisi terpaksa -pent), maka boleh bagi seorang ulama saat itu untuk memuji dirinya dan mengingatkan tentang kedudukannya, maka saat itu berarti dia membicarakan nikmat Allah pada dirinya dalam rangka mensyukurinya.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlihi, 1/176).
Wallahu a’lam.

Penjelasan Asy-Syaikh As-Sa’di
Asy-Syaikh Al-Mufassir Abdurrahman As-Sa’di mengatakan: “Jawabannya ada pada firman Allah:

“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi sangat berpengetahuan.”

Yakni, beliau memintanya demi mewujudkan maslahat ini yang tidak mungkin dilakukan orang lain. Yaitu, menjaga harta dengan sempurna, mengetahui segala sisi yang terkait dengan perbendaharaan tersebut, baik pengeluaran, pembelanjaan maupun penegakan keadilan yang sempurna. Maka ketika beliau melihat sang raja mendekatkan dirinya kepadanya (menjadikannya orang khusus) dan mengutamakannya atas raja itu sendiri, serta pada kedudukan yang tinggi, maka menjadi wajib baginya untuk memberikan pengarahan yang sempurna bagi raja maupun rakyat. Itu adalah suatu keharusan dalam tugasnya.

Oleh karenanya, ketika beliau melakukan tugas menjaga perbendaharaan Mesir, beliau sangat berusaha untuk menguatkan pertanian, sehingga tidak tersisa satu tempat pun dari tanah Mesir, dari ujung ke ujung yang lain, yang pantas untuk ditanami melainkan ia tanami selama tujuh tahun. Lalu beliau bentengi dan jaga dengan penjagaan yang sangat ajaib. Setelah itu, datanglah tahun-tahun paceklik. Manusia sangat membutuhkan pangan. Maka, beliaupun berusaha menimbang dengan penuh keadilan, sehingga beliau larang para pedagang untuk membeli makanan, khawatir mendesak orang-orang yang butuh. Maka terwujudlah dengan itu maslahat yang banyak dan manfaat yang tidak terhitung, sebagaimana telah diketahui.” (Bahjatul Qulub Al-Abrar)

1 Lihat kitab Bahjatu Qulubil Abrar karya Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu, hal. 150-151.
2 Riwayat Ibnu Sa’d dalam kitab Thabaqat Al-Kubra (4/335). Dalam sanadnya Abu Hilal Ar-Rasibi dan dia –walaupun haditsnya tidak sangat dibuang– tapi juga didukung dalam riwayat ini oleh Ayyub As-Sikhtiyani sebagaimana dalam kitab As-Siyar karya Adz-Dzahabi (2/612). Dengan itu, riwayat ini menjadi shahih.

Ulama Pewaris Nabi

Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi

Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang dari mereka mengakibatkan terbukanya fitnah besar bagi muslimin.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan:
Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.”

Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah):
“Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)

Meninggalnya seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini menunjukkan keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan barakah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Terlebih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya:

“Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.”

Kita telah mengetahui bagaimana kedudukan mereka dalam kehidupan kaum muslimin dan dalam perjalanan kaum muslimin menuju Rabb mereka. Semua ini disebabkan mereka sebagai satu-satunya pewaris para nabi sedangkan para nabi tidak mewariskan sesuatu melainkan ilmu.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan:
“Ilmu merupakan warisan para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada kurun (abad, red) ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling besar.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16)

Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (Fathir: 32)

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab (Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:
“Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan:
Maknanya adalah: “Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu… dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68)

Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan:
“Kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barang siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi.” (Al-Manhaj Al-Qawim fi At-Taassi bi Ar-Rasul Al-Karim hal. 15)

Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan:
“Kita wajib memuliakan ulama muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa. Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin. Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 140)

Wallahu a’lam.

Bahaya Menyelisihi Ulama

Penulis : Ustadz Qomar Suaidi

Imam Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ia menyatakan: Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berada di majelis dan bicara di hadapan orang-orang, datang seorang Arab badui seraya menyatakan, kapan hari kiamat? Tapi Rasul tetap meneruskan pembicaraannya, sehingga sebagian orang yang ada menyatakan, beliau mendengar apa yang dikatakan tapi beliau tidak suka dengan apa yang dikatakan. Sebagian yang lain menyatakan beliau tidak mendengarnya. Sampai beliau menyudahi pembicaraannya lalu berkata: “Dimana orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Maka penanya berkata: “Ini saya ya, Rasulullah.” Beliau berkata: “Jika amanah telah ditelantarkan maka tunggulah hari kiamat.” Ia menyatakan: “Bagaimana terlantarnya?” Jawabannya: “Jika sebuah perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah hari kiamat.”

Dalam hadits lain terdapat ancaman kesesatan untuk yang tidak rujuk kepada ulama dalam fitnah. Sabdanya:

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba akan tetapi mencabutnya dengan mewafatkan para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pimpinan, maka ditanyalah pimpinan-pimpinan itu sehingga berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr).

Mudah-mudahan dua hadits ini bisa mencegah kelalaian banyak kaum muslimin terhadap perkara ini.



Fitnah Ibnu Muthi’

“Sungguh benar-benar pada kisah mereka itu ada ibrah bagi orang-orang yang memiliki akal. (QS. Yusuf:111)

Dalam sejarah Islam kejadian Al-Harrah adalah kejadian yang sangat masyhur sekaligus sangat menyedihkan. Orang yang mendengarnya akan berlindung kepada Allah daripadanya. Mulanya ketika Yazid bin Muawiyah menjabat sebagai khalifah setelah ayahnya, terdengar berita-berita buruk tentangnya khususnya berita tentang maksiat-maksiat yang dilakukannya. Sampai berita itu kepada sebagian kaum muslimin, diantaranya Abdullah bin Muthi’. Mendengar hal itu, bangkit ghirah keagamaannya.

Ringkas cerita ia bertekad mencabut baiatnya terhadap Yazid dan melakukan kudeta. Maka ia mengirim utusan guna mengultimatum Yazid dan mengajaknya untuk taat kepada Allah dan diberi waktu sampai 3 hari. Sepulangnya mereka ke Madinah, Abdullah bin Muthi’ bersama rekan-rekannya mendatangi Muhammad bin Hanafiyah, putra Ali bin Abi Thalib. Mereka menginginkan beliau untuk bersama-sama memberontak Yazid, tapi beliau menolaknya. Berkatalah Ibnu Muthi’: “Sesungguhnya Yazid minum Khamr, meninggalkan shalat dan melanggar hukum Al Qur’an.”

Muhammad bin Hanafiyah menjawab:
“Saya tidak melihat padanya apa yang kalian sebutkan, dan saya pernah mendatanginya bahkan tinggal di sana, justru yang saya lihat dia selalu shalat, mencari kebaikan, bertanya masalah fiqh dan berpegang kuat dengan sunnah.”

Mereka menyatakan: “Itu dibuat-buat karena dia di hadapanmu".

Jawabnya:
“Apa yang dia takuti atau harapkan dariku sehingga dia perlu menampakkan kekhusyu’annya dihadapanku? Apakah dia menampakkan kepada kalian meminum khamr? Jika dia menampakkan kepada kalian yang demikian berarti kalian sama dengan dia, tapi jika tidak maka tidak halal buat kalian bersaksi tentangnya sesuatu yang kalian tidak ketahui.”

Mereka katakan: “Sesungguhnya menurut kami benar adanya walaupun kami tidak melihatnya.”

Beliau menjawab:
“Allah menolak yang demikian pada orang yang bersaksi. Firman-Nya:
“Kecuali orang yang bersaksi dengan Al-Haq sedang mereka mengetahui.”
Saya tidak ikut-ikutan urusan kalian sedikitpun.”

Mereka katakan: “Mungkin engkau tidak suka kalau yang memimpin selainmu, jika demikian kami jadikan engkau pimpinan kami.”

Beliau menjawab:
“Saya tidak menghalalkan pemberontakan ini sebagaimana yang kalian inginkan dariku baik saya jadi pimpinan atau yang dipimpin.”

Mereka katakan: “Dulu engkau ikut bersama ayahmu berperang (yakni melawan Muawiyah, semoga Allah ridha pada mereka).

Jawabnya:
“Datangkan kepada saya orang yang seperti ayahku, aku akan memerangi seperti yang diperangi ayahku.”

Mereka katakan: “Kalau begitu perintahkan 2 anakmu Abdul Qosim dan Qosim untuk berperang bersama kami.”

Beliau menjawab :
“Kalau aku perintah keduanya aku juga akan berperang.”

Mereka katakan: “Kalau begitu bangkitlah bersama kami untuk sekedar menganjurkan orang berperang bersana kami.”

Beliau menjawab:
“Subhanallah, apakah aku akan memerintahkan orang sesuatu yang saya tidak melakukannya dan meridhainya, kalau begitu saya tidak punya keinginan-keinginan baik pada hamba-hamba Allah.”

Mereka katakan: “Kalau begitu kami akan membencimu.

Beliau menjawab:
“Kalau begitu aku akan memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah dan tidak mencari ridhanya mahkluk dengan kemurkaan Allah.” Lalu beliau pergi ke Makkah.

Datang Abdullah bin Umar kepada Abdullah bin Muthi’, maka Ibnu Muthi’ menyatakan: “Berikan bantal kepada Abi Abdirahman (yakni Ibnu Umar).”

Ibnu Umar menjawab: “Saya tidak datang kepadamu untuk duduk, akan tetapi aku datang untuk memberitakanmu sebuah hadits yang pernah saya dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

“Barangsiapa mencabut tangannya dari bai’at, ia akan bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal sedang tiada bai’at dilehernya dia akan meninggal seperti meninggalnya orang-orang jahiliyyah.” (HR. Muslim bersama kisahnya).